Back To Top

Kamis, 09 Maret 2017

Biografi Sutomo (Bung Tomo) Pahlawan Indonesia

Biografi Sutomo (Bung Tomo) - Beliau merupakan salah satu pahlawan Nasional Indonesia yang memimpin pertempuran melawan penjajah.  Penganugerahan gelar pahlawan kepada Bung Tomo diberikan pada tanggal 6 November 2008 melalui Keppres No. 41/TK/2008.

Kehidupan Pribadi
Lahir di Surabaya, Jawa Timur, 3 Oktober 1920 & meninggal di Padang Arafah, Arab Saudi, 7 Oktober 1981 pada umur 61 tahun.

Sutomo dilahirkan di Kampung Blauran, di pusat kota Surabaya. Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo, seorang kepala keluarga dari kelas menengah. Ia pernah bekerja sebagai pegawai pemerintahan, sebagai staf pribadi di sebuah perusahaan swasta, sebagai asisten di kantor pajak pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan ekspor-impor Belanda. Ia mengaku mempunyai pertalian darah dengan beberapa pendamping dekat Pangeran Diponegoro yang dikebumikan di Malang. Ibunya berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda, dan Madura. Ayahnya adalah seorang serba bisa. Ia pernah bekerja sebagai polisi di kotapraja, dan pernah pula menjadi anggota Sarekat Islam, sebelum ia pindah ke Surabaya dan menjadi distributor lokal untuk perusahaan mesin jahit Singer.

Sutomo dibesarkan di rumah yang sangat menghargai pendidikan. Ia berbicara dengan terus terang dan penuh semangat. Ia suka bekerja keras untuk memperbaiki keadaan. Pada usia 12 tahun, ketika ia terpaksa meninggalkan pendidikannya di MULO, Sutomo melakukan berbagai pekerjaan kecil-kecilan untuk mengatasi dampak depresi yang melanda dunia saat itu. Belakangan ia menyelesaikan pendidikan HBS-nya lewat korespondensi, namun tidak pernah resmi lulus.

Sutomo kemudian bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Belakangan Sutomo menegaskan bahwa filsafat kepanduan, ditambah dengan kesadaran nasionalis yang diperolehnya dari kelompok ini dan dari kakeknya, merupakan pengganti yang baik untuk pendidikan formalnya. Pada usia 17 tahun, ia menjadi terkenal ketika berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu Garuda. Sebelum pendudukan Jepang pada 1942, peringkat ini hanya dicapai oleh tiga orang Indonesia.


Perjalanan Perjuangan
Di Usia mudanya Sutomo aktif dalam organisasi kepanduan atau KBI. Ia juga bergabung dengan sejumlah kelompok politik dan sosial. Pada 1944 ia anggota Gerakan Rakyat Baru . Sejak kedatangan sekutu dan pasukan NICA di Surabaya, Bung Tomo berjuang mati-matian mempertahankan Surabaya dari cengkeraman Sekutu dan NICA.

Masa Revolusi Fisik 1945-1949:
 Ketua umum/pucuk pimpinan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) dengan cabangnya di seluruh Indonesia. BPRI mendidik, melatih dan mengirimkan kesatuan-kesatuan bersenjata ke seluruh wilayah tanah air. Setiap malam mengucapkan pidato dari Radio BPRI untuk mengobarkan semangat perjuangan yang selalu di relai oleh RRI di seluruh wilayah Indonesia (1945-1949). Sebagai pimpinan BPRI sejak 12 Oktober 1945 sampai Juni 1947 (sampai dilebur didalam Tentara Nasional Indonesia).

Ia juga merupakan  Anggota Dewan Penasehat Panglima Besar Jenderal Sudirman. Selain itu ia juga menjabat sebagai  Ketua Badan Koordinasi Produksi Senjata Seluruh Jawa dan Madura.  Dilantik oleh Presiden Soekarno sebagai anggota pucuk pimpinan Tentara Nasional Indonesia, bersama Jenderal Sudinnan, Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo, Komodor Soerjadarma, Laksamana Nazir dan sebagainya, dengan pangkat Mayor Jenderal TNI AD, dengan tugas koordinator AD, AL, AU di bidang informasi dan perlengkapan perang.  Anggota Staf Gabungan Angkatan Perang RI.  Ketua Panitia Angkutan Darat (membawahi bidang kereta api, bis antar kota dan sebagainya, dengan tugas mengkoordinasikan semua alat angkutan darat di wilayah RI) dan bertanggung jawab langsung kepada Panglima Besar TNI.

 Bung Tomo memiliki pengaruh kuat di kalangan pemuda dan para pejuang. Ia dengan lantang membakar semangat pejuang untuk bertempur habis-habisan melawan pasukan sekutu. Pertempuran tersebut dipicu oleh tewasnya Brigjen AWS Malaby dalam kontak senjata dengan pejuang.

Meskipun kekuatan pejuang tidak seimbang dengan kekuatan pasukan sekutu, namun peristiwa pertempuran 10 November tercatat sebagai peristiwa terpenting dalam sejarah bangsa Indonesia Sekitar tahun 1950-an Bung Tomo mulai aktif dalam kehidupan politik. Ia sempat menjadi Menteri negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran sekaligus Menteri Sosial Ad Interim pada 1955-1956 pada kabinet Burhanuddin Harahap. Bung Tomo juga pernah menjadi anggota DPR 1956-1959 dari Partai Rakyat Indonesia.

Pada masa pemerintahan orde Baru, Bung Tomo banyak mengkritik kebijakan Soeharto yang dianggapnya mulai melenceng. Akibatnya tanggal 11 April 1978 ia ditangkap dan dipenjara oleh pemerintah Soeharto. Padahal jasanya begitu besar dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Satu tahun setelah di tahan Bung Tomo kemudian di bebaskan dan tidak banyak aktif dalam kehidupan politik. Bung Tomo dikenal sebagai muslim yang taat beribadah.

Ada sebuah poto Bung Tomo yang sangat legendaris. Poto ini hampir selalu muncul.  Poto ini adalah seperti yang dibawah ini.




Di foto itu Bung Tomo yang ceking terlihat gagah berpidato. Berseragam militer, tangan kanannya menunjuk ke atas. Kumisnya tipis, matanya tajam. Kepalanya dinaungi payung bergaris-garis dan corong bundar menghadang mulutnya.

Namun siapa sangka, foto itu sebenarnya bukan diambil saat perang 10 November 1945, tetapi beberapa tahun setelahnya. Istri Bung Tomo, Sulistina, mengakui foto itu tidak dijepret di Surabaya. Itu yang motret

IPPHOS, di lapangan Mojokerto. Waktu itu Bapak sedang berpidato. Nggak dibuat-buat, kok, & tanya ujar Sulistina. Putra kedua Bung Tomo, Bambang Sulistomo, membenarkan ayahnya tidak sempat diabadikan pada perang 10 November karena perannya yang penting sehingga posisinya selalu dirahasiakan.

Lantas siapa yang memotret Si Bung sehingga foto hitam putih ini mampu bercerita banyak tentang kegagahan 10 November? Surya mendatangi kantor IPPHOS Surabaya di Jl Urip Sumohardjo. IPPHOS kependekan dari Indonesia Press Photo Service, biro dokumentasi foto satu-satunya di zaman perang.

Sayang, IPPHOS Surabaya tidak aktif lagi. Tidak ada orang yang bisa memberi keterangan tentang foto ini.

Beruntung, ada sejumlah literatur terkait foto legendaris ini. Faktanya, selama periode terakhir 1945, ketika perang Surabaya berkecamuk, ternyata tidak ada satupun surat kabar yang memuat foto Bung Tomo berpayung ini.

Foto itu pertama kali muncul dalam majalah dwi bahasa, Mandarin dan Indonesia, Nanjang Post, edisi

Februari 1947. Ada foto Bung Tomo dengan pose dahsyat ini. Dijelaskan dalam keterangan foto itu bahwa Bung Tomo sedang berpidato di lapangan Mojokerto dalam rangka mengumpulkan pakaian untuk korban Perang Surabaya.

Saat itu masih banyak warga Surabaya yang bertahan di pengungsian di Mojokerto dan jatuh miskin. Sementara Surabaya sedang diduduki Belanda. Sulistina hanya mengenal nama Mendur, wartawan foto IPPHOS yang mengambil gambar "Bapak".

Lantas siapa Mendur? Nama lengkapnya Alexius Mendur (1907-1984), pendiri IPPHOS. Mendur adalah legenda fotografi era perang. Dialah yang mengabadikan hampir semua peristiwa bersejarah periode 1945-1949.

Dia satu-satunya fotografer yang memotret pembacaan proklamasi RI 17 Agustus 1945. Alex bukan orang asing bagi Bung Tomo. Mereka bersahabat sejak lama karena sama-sama wartawan. Di zaman Jepang, Bung Tomo adalah pemimpin redaksi kantor Berita Domei yang kelak menjadi Kantor Berita Antara di Surabaya.

Sementara, Mendur tercatat sebagai kepala desk foto kantor berita Domei Jakarta. Alex Mendur dan saudara kembarnya, Frans Mendur, mendirikan IPPHOS pada 2 Oktober 1946 di Jakarta. Beberapa nama lain juga tercatat sebagai pendiri IPPHOS. Misalnya, JK Umbas, FF Umbas, Alex Mamusung, dan Oscar Ganda.

Hasil jepretan Mendur itu sudah berbicara banyak. Tanpa mendengar pidato Bung Tomo dan hanya melihat foto itu, orang sudah bisa membayangkan dengan jelas bagaimana situasi pada masa itu. Tak mengherankan kalau kemudian foto itu dianggap sebagai salah satu yang terbaik yang pernah dibuat di era perang kemerdekaan.
Naskah Pidato Bung Tomo:

Bismillahirrohmanirrohim..
MERDEKA!!!
Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh Indonesia
terutama saudara-saudara penduduk kota Surabaya
kita semuanya telah mengetahui bahwa hari ini
tentara inggris telah menyebarkan pamflet-pamflet
yang memberikan suatu ancaman kepada kita semua
kita diwajibkan untuk dalam waktu yang mereka tentukan
menyerahkan senjata-senjata yang telah kita rebut dari tangannya tentara jepang
mereka telah minta supaya kita datang pada mereka itu dengan mengangkat tangan
mereka telah minta supaya kita semua datang pada mereka itu dengan membawa bendera puitih tanda bahwa kita menyerah kepada mereka
Saudara-saudara
di dalam pertempuran-pertempuran yang lampau kita sekalian telah menunjukkan
bahwa rakyat Indonesia di Surabaya
pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku
pemuda-pemuda yang berawal dari Sulawesi
pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Bali
pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan
pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera
pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang ada di surabaya ini
di dalam pasukan-pasukan mereka masing-masing
dengan pasukan-pasukan rakyat yang dibentuk di kampung-kampung
telah menunjukkan satu pertahanan yang tidak bisa dijebol
telah menunjukkan satu kekuatan sehingga mereka itu terjepit di mana-mana
hanya karena taktik yang licik daripada mereka itu saudara-saudara
dengan mendatangkan presiden dan pemimpin2 lainnya ke Surabaya ini
maka kita ini tunduk utuk memberhentikan pentempuran
tetapi pada masa itu mereka telah memperkuat diri
dan setelah kuat sekarang inilah keadaannya
Saudara-saudara kita semuanya
kita bangsa indonesia yang ada di Surabaya ini
akan menerima tantangan tentara inggris itu
dan kalau pimpinan tentara inggris yang ada di Surabaya
ingin mendengarkan jawaban rakyat Indoneisa
ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indoneisa yang ada di Surabaya ini
dengarkanlah ini tentara inggris
ini jawaban kita
ini jawaban rakyat Surabaya
ini jawaban pemuda Indoneisa kepada kau sekalian
hai tentara inggris
kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu
kau menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu
kau menyuruh kita membawa senjata2 yang telah kita rampas dari tentara jepang untuk diserahkan kepadamu
tuntutan itu walaupun kita tahu bahwa kau sekali lagi akan mengancam kita
untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada
tetapi inilah jawaban kita: selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah
yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih
maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapapun juga
Saudara-saudara rakyat Surabaya, siaplah! keadaan genting!
tetapi saya peringatkan sekali lagi
jangan mulai menembak
baru kalau kita ditembak
maka kita akan ganti menyerang mereka itukita tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka
Dan untuk kita saudara-saudara
lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka
semboyan kita tetap: merdeka atau mati!
Dan kita yakin saudara-saudara
pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita
sebab Allah selalu berada di pihak yang benar
percayalah saudara-saudara
Tuhan akan melindungi kita sekalian
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!
MERDEKA!!!
Demikian biografi Sutomo atau Bung Tomo yang wafat ketika menunaikan ibadah Haji di padang Arafah Makkah tanggal 7 Oktober 1981. Jenazah Bung Tomo dibawa kembali ke tanah air dan dimakamkan bukan di sebuah Taman Makam Pahlawan.